*Diterjemahkan oleh Mar’atus Solihah, Umi Nur Azizah, Fadilatul Marjannah, Umi Latifah, dan Anjarwati dengan teks asli berbahasa Arab “Al-Ta’am al-Fasid”. Diedit dan diberi ulasan oleh M. A. Mushodiq.
Pada suatu hari, ada seorang pasien yang mengeluh sakit perut kepada seorang dokter. Setelah mendengar keluhannya dengan seksama, dokter pun bertanya “Apa yang telah engkau makan?”. Pasien itu pun menjawab “Aku makan roti basi”. Mendengar jawaban tersebut, dokter lantas membuka laci meja kerjanya. Dia mengambil seperangkat alat celak mata1 dan menyodorkannya ke hadapan pasien. Mengetahui hal itu, pasien itu pun terkejut seraya berkata “ Mohon maaf dokter, saya sedang sakit perut bukan sakit mata!”. Dengan geram dokter menjawab, “Aku tahu akan hal itu, aku memberimu celak agar engkau dapat melihat makanan basi dengan lebih jelas, jadi jangan pernah memakannya!
1Celak adalah bubukan hitam untuk memalit kening (bulu mata) atau disapukan di sekeliling mata yang dipercaya mampu membantu pandangan mata menjadi terang dan menumbuhkan bulu mata
Pembaca Kuras budiman…
Sakit, patah hati, kegagalan, dan keputusasaan yang kita alami saat ini bisa jadi diakibatkan oleh tindakan abai kita terhadap hal-hal yang diketahui –dengan penuh kesadaran- beresiko dalam hidup. Kita kerap melakukan gambling ‘berjudi’ dengan keadaan. Bukankah air sungai yang keruh tanda akan adanya hujan di hulu?. Jadi kita bisa menahan diri untuk tidak berenang di hilir, karena akan hadirnya luapan air. Bukankah sikap dingin seseorang terhadap kita merupakan tanda ketidaktertarikan?. Dengan demikian kita bisa mengamalkan lagu yang kerap kita dengar dan senandungkan “mundur alon-alon…”.
Menerobos tanda-tanda buruk yang sudah jelas tafsirannya, hanya mememastikan keterjadian kesedihan, keputusasaan, dan patah hati yang awalnya sekedar “mungkin terjadi”. Kita –dan makhluk lainnya- memiliki perangkat untuk memahami tanda-tanda dalam kehidupan dengan baik. Kita dibekali Tuhan indera yang cukup untuk memahami segala bentuk tanda. Memahami tanda-tanda di sekitar disinyalir membantu dalam meminimalisir rasa sedih yang sedang atau akan kita alami. Baik dengan cara meninggalkan “sesuatu” yang berpotensi menimbulkan rasa sedih atau dengan cara mempersiapkan diri untuk menerimanya.
Kadangkala, dalam keadaan tertentu, kita tidak dapat menghindar bukan?, menerobos tanda “kegagalan” dan berharap ada peluang. Dari pada tidak melakukan upaya sama sekali dengan konsekuensi tidak ada peluang sama sekali. Dalam keadaan seperti ini, yang harus kita perkuat adalah hati, penghambaan kita kepada Tuhan, dan kelapangan menerima apapun yang terjadi. Hati yang tenang akan membuat kita berpikir jernih, “Yuk bisa yuk, hari ini aku gagal,tapi esok matahari masih bersinar” Memang tidak mudah untuk menenangkan hati. Tapi paling tidak ada sedikit cara untuk mengupayakannya. Saat kegagalan yang telah diprediksi benar-benar terjadi, cobalah duduk bersandar, menangis sejenak, dan kembali berpikir logis untuk masa depan yang penuh harapan. Dengan begitu, kita sudah melakukan dua hal; intropeksi dan memotivasi diri.
Selain itu, penghambaan kita kepada Tuhan juga tentu harus diperkuat. Kita harus sadar bahwa yang telah kita usahakan, -bagaimana pun juga- hasilnya di tangan Tuhan. Oleh karena itu, cara kerja dunia ini sangatlah unik, kadang kita berhasil, kadang kita gagal. Bukankah fenomena itu menandakan adanya Tuhan, dan kita sebagai manusia adalah hamba-Nya?. Coba bayangkan, jika kita terus mengalami keberhasilan tanpa kegagalan, kuat kah hati kita untuk tidak jumawa dan mendeklarasikan diri sebagai “Tuhan”?. Tuhan tahu kapasitas manusia, kegagalan adalah cara untuk menundukkan kesombongannya.
Terakhir, adalah kelapangan. Coba jawab jujur dalam hati, bukankah lapang selalu melegakan. Dengan kelegaan kita akan berpikir lebih rileks dan masuk akal. Jangan pernah melihat suatu hal dengan kacamata kuda. Kita harus melihat segala sesuatu dengan sudut pandang yang luas. “ah, mungkin kegagalan ini adalah cara Tuhan mengajariku kekuatan, kedewasaan, dan menghapuskan segala dosa-dosa yang telah ku perbuat” atau “mungkin orang lain lebih membutuhkan keberhasilan itu, dan akan tiba giliranku segera”.
Pembaca Kuras Budiman, Tuhan tidak tidur, tawakkal’ala Allah ‘menyerahkan segala urusan kepada Allah’ adalah kunci kelapangan. Kita harus pandai dan cermat membedakan bagian kita dan bagian Tuhan. Bagian kita adalah berupaya dan berdoa, dan Tuhan akan melakukan bagian-Nya, mengabulkan atau menolak dengan kebijaksanaan. A laisa Allahu bi ahkami al-hakimin!?
Jadi pandai-pandailah dalam memahami tanda, dan tentukan langkahmu segera!
Copyright (2020) Kuras Institute