Tulisan ini merupakan sebuah ulasan ulang dari sebagian isi artikel yang sudah diterbitkan pada jurnal al-Tsaqafah UIN Bandung tahun 2018. Salah satu dorongan untuk menjabarkannya kembali disebabkan oleh maraknya kasus deviasi (penyimpangan) dan inkonsistensi antara ucapan dan perbuatan beberapa pemimpin di Indonesia akhir-akhir ini, baik dari struktur kepemimpinan yang paling rendah hingga tertinggi sekalipun. Sebenarnya bukan rahasia lagi, jika masih banyak pemimpin yang melanggar ucapannya sendiri di negeri ini, terutama ucapan-ucapan atau janji manis saat kampanye, sebagai bahan elektabilitas agar dia dipilih oleh rakyat. Di sisi lain, rakyat yang sejatinya sadar sedang “dibohongi” secara massal, terpaksa tetap memilih, karena golput dianggap sebuah pelanggaran dan sialnya “sogokan” sembako dan kaos mural wajah calon sudah terlanjur diterima. Kasus deviasi juga terjadi dalam fenomena yang lebih up to date, berkaitan dengan carut marut kebijakan pemerintah dalam mitigasi Pandemi COVID-19. Seakan-akan pemimpin negara ini kehilangan tumpuan untuk bersikap tegas dan bijak, sehingga di setiap sektor pemerintahan memiliki kebijakan dan pernyataan masing-masing yang justru membingungkan rakyat
Mari kita kembali ke alur pembahasan yang sesuai dengan judul dengan sebuah pertanyaan. Apakah Nabi Sulaiman yang dicitrakan sebagai role model seorang pemimpin dan raja -di berbagai literature Islam khususnya- pernah melakukan deviasi antara ucapan dan perbuatan?. Sebelum mengarah ke sana perlu diketahui bahwa tulisan ini bukan dimaksudkan untuk melihat epistemologi dan sejarah kapan awal mula pemimpin melakukan deviasi antara ucapan dan perbuatan. Hal ini perlu ditekankan karena banyak sekali opini yang mengklaim secara apologis saat mengkaji kisah para nabi atau tokoh yang hidup ratusan tahun sebelumnya. Tulisan ini merupakan hasil penalaran semiotis dari Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Saba’ di dalam Alquran, Surat an-Naml.
Sebagaimana jamak diketahui, Nabi Sulaiman merupakan seorang nabi sekaligus raja yang memiliki prajurit dan rakyat extraordinary, terdiri dari bangsa manusia, jin, dan hewan. Salah satu keistimewaan beliau adalah dapat berkomunikasi dengan semua rakyatnya. Sebagai contoh percakapan Nabi Sulaiman yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab di dalam Alquran ketika berbicara dengan Semut dan burung Hud-Hud. Atau ketika beliau berkomunikasi dengan Ratu Saba’ yang juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab di dalam Alquran.
Tahukah anda wahai pembaca budiman, bahwa ketika melakukan percakapan dengan hewan ataupun manusia, Nabi Sulaiman melakukan deviasi dan inkonsistensi, sebuah penyimpangan atas apa yang beliau ucapkan dan apa yang beliau lakukan kemudian. Lalu, apakah penyimpangan yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman dengan para pemimpin di negeri ini memiliki kesamaan. Sebagaimana tersebar jejak digital di berbagai media bahwa pemerintah akan melakukan x, tapi ternyata yang dilakukan adalah y, dan hal itu membuat rakyat sakit hati
Dalam catatan penulis, terdapat dua deviasi “menonjol” –tapi bukan bakat- yang ditemukan dalam kisah Nabi Sulaiman di dalam Surat an-Naml. Pertama gertakan Nabi Sulaiman kepada Burung Hud-Hud. Dalam plot awal kisah, Nabi Sulaiman menyatakan akan menyembelih burung Hud-Hud karena ketidakhadirannya, terkecuali jika ia memberikan alasan yang jelas. Dalam menggertak burung Hud-Hud, Nabi Sulaiman menggunakan kata kerja yang diimbuhi lam at-taukid dan nun at-taukid (keduanya dalam Bahasa Arab merupakan tanda penekanan atau penegasan) sebagaimana yang tampak pada kata kerja lauadibannahu (aku akan benar-benar menghukumnya) dan laadbahannahu (Aku benar-benar akan menyembelihnya). Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa Nabi Sulaiman benar-benar ingin melakukannya. Akan tetapi, di balik ancaman verbal beliau yang cukup “radikal” tersebut, terdapat tindakan yang merujuk pada sikap memuliakan burung Hud-Hud setelah ia memberikan alasan keterlambatannya. Alih-alih menghukum Burung Hud-Hud karena keterlambatannya, Nabi Sulaiman memberikan tugas mulia kepadanya untuk mengirimkan surat suci ke Ratu Saba’ dan mengamati respon sang ratu. Itulah gambaran deviasi antara ucapan dan perbuatan yang dipraktekkan oleh Nabi Suliaman kepada bangsa hewan. Pada awalnya terlihat sangat menyeramkan, tetapi pada akhirnya malah memuliakan.
Deviasi lain juga terdapat pada ancaman verbal yang cukup “radikal” dilakukan Nabi Sulaiman kepada Ratu Saba’ karena beliau dikirimi hadiah sebagai bentuk “ungkapan damai” oleh sang ratu. Beliau memberi gertakan berupa ancaman untuk menghinakan penduduk Saba’. Gertakan tersebut tertuang pada kalimat falana’tiyannahum bi junudin la qibala lahum biha walanukhrijannahum minha adzillah wa hum shagirun. Pada ayat tersebut tampak sekali ancaman yang dibungkus dengan ketegasan. Alquran menggunakan taukid murakkab (penekanan ganda) dalam menggambarkan ketegasan Nabi Sulaiman. Huruf lam taukid yang dipadukan dengan nun taukid pada kata kerja ata-ya’ti melahirkan kesungguhan yang luar biasa Nabi Sulaiman untuk mendatangkan para prajuritya menuju Negeri Saba’, memerangi Ratu dan kaumnya. Begitu juga dengan kata kerja akhraja-yukhriju yang dibubuhi dua huruf taukid lam dan nun sehingga mengorientasikan makna kesungguhan untuk mengeluarkan penduduk Saba’ dari negerinya. Ancaman tersebut mengandung konsep penghinaan yang diwakili dengan kata adzillah dan peremehan yang diwakili dengan kata shagirun dalam bentuk isim fail yang berorientasi pada pemaknaan ats-tsubut wa ad-dawam. Namun jika dipahami dengan cermat maka akan didapati deviasi antara ucapan dan perbuatan Nabi Sulaiman selanjutnya. Apakah Nabi benar-benar menhinakan Ratu Saba’ dan rakyatnya?. Sama sekali tidak, Beliau membuat sayembara kepada rakyatnya dari kalangan jin, hewan dan manusia untuk dapat mendatangkan singgasana Ratu Saba’ dengan cepat. Maka salah satu rakyat Nabi Sulaiman dari kalangan manusia dapat memenangkan tender dan berhasil mendatangkan singgasana sang ratu dengan kecepatan kedipan mata. Nabi Sulaiman lalu memerintahkan prajuritnya untuk merenovasi singgasana Ratu Saba dengan begitu Indah, sehingga ketika Ratu Saba’ datang menemui sang Nabi, dia sempat “pangling” dengan singgasananya sendiri karena telah berubah menjadi sangat mewah dan indah. Dengan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Suliman, maka Ratu Saba’ akhirnya luluh dan beriman kepada Allah SWT. Itulah gambaran seorang pemimpin yang melakukan deviasi, sebuah penyimpangan antara ucapan dan perbuatan.
Cukup jelas bukan sampai sini, bahwa pemimpin sejatinya boleh saja melakukan deviasi, inkonsistensi antara ucapan dan perbuatan. Akan tetapi deviasi yang dilakukan harus mengarah kepada hal yang lebih baik dan bijaksana. Lebih baik pemimpin mengatakan akan melakukan impor pangan besar-besaran, tapi ujung-ujungnya mengehentikan impor dan berdaulat pangan dengan membeli hasil panen petani negeri sendiri. Gembor-gembor ingin impor garam dari negara lain, tetapi ujung-ujungnya memanfaatkan produksi garam dari negeri sendiri, itu lebih baik daripada apa yang terjadi di negara kita akhir-akhir ini. Ucapannya manis, tapi apa yang dipraktikkan membuat para petani sesak menerima kenyataan. Konon katanya ingin berdaulat pangan dan stop impor dari negara lain. Tapi faktanya beras, garam, dan barang-barang lain yang juga diproduksi oleh petani sendiri didatangkan dari negeri lain dan dijual kepada rakyat. Miris bukan, pada akhirnya banyak petani yang masih kesulitan dan dilemma untuk menjual hasil panen karena harga yang tidak layak.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada taraf eksoterik, sikap Nabi Sulaiman dan beberapa pemimpin di negeri ini memiliki kesamaan, yaitu deviasi dan inkonsistensi antara ucapan dan pebuatan. Akan tetapi pada tanah esoteric sebagai substansi tentu saja berbeda dan berbanding terbalik. Ucapan Nabi Sulaiman pada awalnya sangat mengerikan dan membuat sesak, tetapi perbuatan yang dilakukan setelahnya sangat melegakan. Begitulah sejatinya seorang pemimpin, bukan mengumbar janji manis bak madu, tapi setelah terpilih, “meracuni” orang-orang yang telah memilihnya.
Copyright (2020) Kuras Institute
2 Comments
Ali Imron
Semoga bisa ketemu sama penulis, sambil ngopi diceritakan kisah nabi-nabi lainnya.
tanpa nama
menarik sekali