Sampai detik ini Pandemi Covid-19 masih berlangsung. Meskipun Indonesia mulai merangkak untuk bangun memasuki era new normal, curva jumlah kasus pasien terjangkit Covid-19 juga ikut-ikutan merangkak naik secara global. Di saat-saat seperti ini, keimanan, kewarasan, persaudaraan, dan kesabaran sedang diuji. Kontestasi ideologi dalam menyikapi virus mematikan itupun beragam, Ada yang pasrah dengan prinsip fatalistik ala Jabbariyah, bahwa semua yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan oleh Allah. Di sisi lain ada juga yang mencoba berikhtiar, meyakini bahwa ada intervensi upaya manusia dalam takdir-Nya. Tentu saja perbedaan sikap dalam menghadapi virus tersebut mengakibatkan pada perbedaan hasil dalam upaya pencegahan.
Di dalam Organisasi Massa Islam Nahdlatul Ulama, terdapat trilogi ukhuwah (persaudaraan) yang dicetuskan oleh KH. Achmad Siddiq (1926-1991). Ketiganya adalah Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyyah, dan Ukhuwah Insaniyah atau Basyariyyah. Ketiga ukhuwah tersebut menurut hemat penulis dapat dijadikan alternative dan falasah sosial untuk mengatasi Covid-19 di masa yang cukup menegangkan saat ini. Berikut ini, uraian singkat bagaimana ketiganya dapat dipraktikkan berdasarkan interpretasi subjektif penulis.
Pertama, Ukhuwah Islamiyah. Sebagaimana yang telah disinggung pada paragraf pertama, kontestasi ideologi keagamaan masyarakat Indonesia dalam menghadapi Pandemi Covid-19 sangat beragam, terutama dalam Agama Islam. Hal tersebut tidak mengherankan karena umat Islam di Indonesia menganut aliran teologi/kalam dan fiqih yang bermacam-macam. Keberagaman masyarakat dalam memahami agama, menimbulkan sikap yang berbeda pula. Ada penceramah yang menyerukan agar umat Islam harus lebih takut kepada Allah dari pada takut kepada virus, sehingga tidak perlu mepedulikan anjuran pemerintah dalam prosesi peribadatan yang difatwakan oleh MUI dan disetujui oleh ormas-ormas mainstream di Indonesia. Di sisi lain ada ustaz atau kiai yang lebih moderat, menyatakan bahwa ibadah itu sangat penting, tapi menjaga nyawa (hifdzu nafs) untuk tetap hidup agar dapat beribadah lebih lama di dunia jauh lebih penting. Sehingga anjuran-anjuran yang disampaikan disesuakan dengan konteks. Jika keadaan masih genting, tidak ada salahnya umat Islam “menahan diri” untuk dapat sholat berjamaah di masjid. Dan di saat seperti ini, di mana pemerintah sedang menjalankan new normal, umat Islam dapat melaksanakan ibadah shalat secara berjamaah dengan tidak berdempet-dempetan. Selain sikap fatalistik dan moderat, ada juga yang berlebihan dalam menyikapi pandemi dengan membeli masker, handsanitizer, dan peralatan pencegahan lain secara membabi buta tanpa mempedulikan saudara di sekelilingnya yang juga membutuhkan.
Di dalam ajaran Islam Nusantara, paling tidak ada empat prinsip dalam beragama, Salah dua yang dapat dipraktikan dalam Ukhuwah Islamiyah adalah konsep Tawaasuth dan Tawazzun. Dua hal ini penting dijadikan pegangan dalam kegiatan “saling menasehati” antara umat muslim di masa Pandemi Covid-19. Tawassuth artinya berada di tengah, tidak ekstrim ke kiri dan tidak ekstrim ke kanan. Dengan demikian umat Islam harus dapat menyeimbangkan sikap dalam berbagai situasi dan kondisi. Sederhananya umat Islam harus dinamis, tidak statis dalam menyikapi suatu peristiwa. Adapun kaitannya dengan pandemi, konsep tawassuth dapat diejawantahkan dalam sikap moderat dalam memerangi Covid-19. Di mana umat tidak menganut paham Jabbariyah yang fatalistik dan teodisi, meyakini bahwa semua yang terjadi mutlak karena takdir Allah dan manusia harus pasrah atas apa saja yang menimpa mereka. Penganut paham fatalistik cenderung acuh tak acuh terhadap keadaan sekitar dan tidak peka terhadap konteks yang berlaku di sekeliling mereka. Sikap tersebut sejatinya menunjukkan keputus-asaan atas rahmat Allah SWT. Mereka tidak mau berusaha secara maksimal untuk mencegahnya. Celakanya, orang yang putus asa -atau muqnit dalam Bahasa Arab- tersebut meskipun dia ahli ibadah tidak lebih baik daripada pendosa yang optimis akan rahmat dan ampunan Allah. Sebagaimana sebuah hadits yang dikutip oleh Ushfury dalam kitabnya Mawaid Usfuriyyah /”al-Fajir ar-Raji Rahmatillah ta’ala Aqrabu Ilallah ta’ala min al-Abidi al-Muqnit“/ ‘Seorang pendosa yang berharap rahmat kasih sayang Allah lebih dekat dengan Allah daripada ahli ibadah yang putus-asa atas rahmat Allah. Berdasarkan hadits di atas, jelas bahwa tidak berbuat apa-apa dan pasrah akan keadaan ketika menghadapi pendemi merupakan sikap yang tidak bisa dibenarkan. Untuk itu, umat Islam harus tetap berupaya dalam mencegah penularan virus Corona dengan mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh para ahli. Di sisi lain umat Islam juga tidak diperbolehkan menganut paham Qadariyah yang meyakini bahwa semua yag terjadi di dalam kehidupan manusia diakibatkan oleh upaya yang dilakukan oleh manusia sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Jika dikaitkan dengan Pandemi Covid-19, paham ini cenderung mengabaikan “takdir Tuhan” dalam memberikan ujian bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Paham ini berpotensi membawa penganutnya untuk berupaya secara ekstrim, melakukan segala upaya untuk melindungi diri dengan membeli perlengkapan kesehatan dan obat-obatan secara serampangan.
Selain itu sikap tawassuth juga dapat diejawantahkan dalam menghargai argumen orang lain yang dapat diterima oleh akal dan dasar agama. Dengan demikian tidak dibenarkan “kekakuan” dan “keakuan” dalam beragama, khususnya dalam hal muamalah karena terkait dengan maslahat orang lain. Sikap terbuka dan menerima kritikan harus diperlebar di saat-saat seperti ini. Fanatisme dalam bermadzhab harus dikendorkan, sehingga masa seperti ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat tali ukhuwah anta umat Islam di Indonesia. Jika suatu ormas memiliki pandangan yang masuk akal untuk dapat mencegah penyebaran virus dan tentunya terdapat sandaran dalil yang kuat, baik naqli maupun aqli, kenapa harus ditolak?. Kenapa harus berpegang teguh pada paham keagamaan tertentu, jika hal tersebut akan berdampak buruk bagi kehidupan sosial bersama?. Kedua pertanyaan tersebut harus dijawab oleh diri kita masing-masing.
Sedangkan sikap tawazun sebenarnya sudah disinggung pada bahasan di atas. Keseimbangan dalam menggunakan dalil aqli yang logis dan naqli harus diterapkan dalam keadaan seperti ini. MUI dan Ormas Islam Mainstream seprti NU dan Muhammadiyah telah berupaya memberikan dalil-dalil yang bercorak tawazun dan proporsional dalam beragama. Dalil-dalil peribadatan yang berorientasi pada hifdzu nafs (menjaga nyawa) dijabarkan dalam fatwa-fatwa yang dikeluarkan. Bukan dalil-dalil yang dibaca secara tekstual tanpa memperhatikan konteks atau keadaan. Fatwa-fatwa tersebut seharusnya diamalkan oleh umat Islam di Indonesia, sehingga curva yang menunjukkan jumlah pasien terjangkit virus dapat terus menurun dalam waktu dekat.
Kedua dan Ketiga, Ukhuwah Wataniyyah dan Ukhuwah Insaniyyah. Kita tentu saja masih ingat dengan quote yang disampaikan oleh gusdur, “Tidak penting apa pun agama dan sukumu. kalau kamu bisa berbuat baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Ungkapan tersebut menurut penulis sangat “Indonesia”, kanapa?. Indonesia adalah negara dengan rakyat yang heterogen, baik dilihat melalui suku, ras, ataupun agama. Hanya dengan merasa “satu”, masyarakat dapat hidup berdampingan dengan tentram dan aman. Untuk itulah muncul konsep “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda, tetapi tetap satu.
Pada masa pandemi seperti ini, rasa memiliki sejarah bangsa dan nasib yang sama perlu untuk ditingkatkan. Ukhuwah wathaniyyah merupakan rumusan dari kalangan NU yang harus tetap diperkuat dan diperbaharui semangatnya. Setelah umat Islam dapat “berdamai” dengan sesama, maka level selanjutnya yang tak kalah penting adalah dengan mempererat tali persaudaraan sesama warga negara Indonesia, bahkan mansuia secara global tanpa memandang apa agama dan sukunya. Saling bahu-membahu dalam mengatasi pandemi mutlak diperlukan. Melakukan derma dan sedekah sebagai bentuk kepedulian bagi siapa saja yang terdampak Covid-19 merupakan perbuatan yang harus digalakkan. Di dalam Agama Islam, jelas bahwa menyayangi siapapun dan apapun di muka bumi ini merupakan keniscayaan. Di dalam sebuah hadits dikatakan /“ar-rahimun yarhamuhumu ar-Rahman, irhamu man fi al-ardi, yarhamukum man fi as-sama”/. ‘Orang yang memiliki sifat kasih-sayang, akan disayang oleh ar-Rahman (Allah), sayangilah siapa saja yang ada di bumi, maka siapa sja yang ada di langit akan menyayangimu pula’.
Berbuat baik untuk kemanusiaan tentu saja tidak terbatas pada materi saja. Bagi para pendakwah memberikan edukasi tentang kebersihan atau taharah sangat dianjurkan. Sudah banyak para pendakwah yang mengatakan bahwa kajian tentang kebersihan atau taharah merupakan pembahasan awal dalam berbagai kitab fiqih. Hal tersebut mengindikasikan begitu pentingnya taharah dalam kehidupan kita, terutama di saat virus merajalela di dunia. Selain itu para tenaga medis juga diharapkan tetap semangat untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar tetap menjaga kebersihan. Bagi para ilmuan, mempublish atau menyebarkan hasil temuan penelitian dalam upaya pencegahan Covid juga merupakan kepedulian antara sesama. Penemuan obat misalnya, merupakan jihad luar biasa untuk kemanusiaan yang tak ternilai harganya. Lalu, bagaimana dengan kita yang tidak paham tentang dunia kesehatan dan bukan ilmuan yang dapat menemukan vaksin atau obat pencegah virus. Jihad kita tentu saja berbeda. Untuk mempraktikkan ukhuwah basyariyah dan peduli atas kehidupan bersama, kita cukup mematuhi anjuran pemerintah dan tenaga kesehatan dalam pencegahan Covid-19. Untuk tetap menjaga jarak dan menggunakan masker ketika berpergian, mengkonsumsi makanan bergizi imbang, dan lain sebagainya. Selain itu, kita harus menahan jari kita untuk membagikan info yang tidak jelas sumbernya mengenai Covid-19. Baik berita tentang pasien atau berita tentang penemuan obat yang tidak tahu kevalidan sumbernya. Seringkali isu atau berita burung yang tidak pasti kebenarannya tentang seseorang yang terkena virus di suatu daerah, membuat geger masyarakat sekabupaten. Di sisi lain, kepedulian terhadap kemanusiaan juga dapat berupa simpati dan empati bagi saudara kita yang terjangkit virus. Kita harus saling menguatkan, bukan malah membully, mengintimidasi, dan mendiskriminasi. Bahkan yang paling miris penolakan pemulasaran saudara kita yang telah meninggal akibat Corona masih saja terjadi. Padahal jenazah sudah ditangani dengan sangat baik oleh tenaga kesehatan.
Demikianlah trilogi ukhuwah ala NU yang harus kita praktikkan dan kuatkan di masa-masa seperti ini. Kita tidak bisa mengutamakan salah satu dari ketiganya, karena trilogi artinya berhubungan antara satu dengan lainnya. Corona tidak mengenal agama, suku, dan ras kita. Selama kita tetap menjadi manusia, virus berpotensi menjangkiti kita. Dan selama kita masih ingin dianggap sebagai manusia, peduli kepada sesama adalah sebuah keniscayaan, tidak ada negosiasi di dalamnya.
Copyright (2020) Kuras Institute
1 Comment
Eka Prasetiawati
sangat mencerahkan sekali prof kereeen