Ditulis oleh Muhammad War’i
Mendaki telah lama menjadi kebiasaan manusia. Ada banyak tujuan orang menaiki gunung, mengolah spiritualitas, menikmati keindahan alam, melakukan penghijauan dan lain sebagainya.Belakangan laju teknologi telah ikut mendorong aktivitas pendakian, namun ada degradasi nilai yang terjadi, jika dulu pendakian dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki keinginan untuk mengolah rasa dan jiwa mereka, belakangan, banyak pencinta alam yang melakukan pendakian hanya untuk esksistensi semata, yakni para pendaki yang murni untuk memburu foto dan kemudian pamer di akun medsosnya. Celakanya, beberapa pendaki juga melakukan pendakian hanya untuk memuaskan hasrat kebinatangannya. Ke gunung, hanya untuk pelampiasan seksual!
Berbagai fenomena memilikukan tentang dunia pendakian perlahan mencuat ke permukaan. Di Rinjani, beberapa waktu yang lalu, ditemukan banyak alat kontrasepsi habis pakai. Di gunung-gunung lain di pelosok negeri penuh ruah dengan sampah karena ulah pendaki yang tak peduli dengan lingkungan. Sebuah kecelakanmemilukan, gunung yang seharusnya menjadi objek perenungan, tempat olah spiritual telah dicampakkan oleh ulah pendaki tak bermoral. Apel kemerdekaan, sering kali menjadi kambing hitam!
Secara normatif, gunung memiliki kedudukan spesial. Dalam al-Quran, kata gunung (jibal) setidaknya disebut dalam 32 ayat. Berbagai ayat yang ada dalam al-Quran menunjukkan gunung sebagai lambang ketangkasan. Puncak asa yang teramat kuat. Dalam surat al–Ghosyiah Allah memerintahkan kita untuk mengkaji gunung, “dan lihatlah gunung, bagaimana dirinya ditegakkan?” dalam surat an-Namlayat 88, Allah memberikan perumpamaan tentang gunung-gunung yang sejatinya berjalan seperti awan.
Gunung, ataupun mahluk Tuhan lainnya, pada prinsipnya adalah ayat-ayat Tuhan yang dibentangkan dalam alam semesta ini. Dalam surat ali-Imron, 190 Allah menegaskan bahwa dalam pencitaan langit dan bumi ini ada tanda bagi orang-orang yang merenungkannya (ulul albab). Tidak ketinggalan, dalam hadits juga Rasulullah memerintahkan untuk memikirkan tentang ciptaan Allah (alam semesta).
Berbagai dalil normatif diatas menunjukkan bahwa gunung pada prinsipnya adalah ayat Tuhan yang dibentangkan di alam semesta ini untuk kita pelajari dan kaji. Mendaki sejatinya adalah momen paling tepat untuk melakukan pengkajian tersebut. Namun demikian, fakta memilukan yang penulis paparkan di depan tulisan, menunjukkan betapa sesungguhnya esensi pendakian terutama pendaki milenial telah kehilangan ruhnya. Mendaki yang seharusnya menjadi ruang refleksi atas keperkasaan sang maha kuasa dan menunjukkan tubuh kita yang sangat terbatas, ringkih dan lemah.
Beberapa waktu yang lalu, saya merasakan kepiluan yang teramat dalam, sebagai seorang pecinta gunung, pernah mendaki beberapa gunung di bumi pertiwi ini, perasaan saya dicabi-cabik, betapa tidak, mereka para pendaki yang naik gunung dengan alat-alat teknologinya membawa berbagai perlengkapan musik. Sebagaimana yang dilaporkan salah satu portal berita lokal di Lombok, mereka para pendaki milenial itu melakukan dugem masal di atas gunung. Ini adalah kecelakaan moral dan tamparan keras bagi para pengelola tempat wisata berbasis gunung.
Kita perlu merefleksikan nilai penting dalam al-Quran yang sejatinya menunjukkan bagaimana cara kita sebagai seorang pendaki ketika mendaki gunung. beberapa poin perlu diperhatikan untuk menajadikan pendakian kita lebih bermakna, Pertama, tanamkanlah tekad pada diri, bahwa mendaki gunung adalah upaya mematangkan psikologis diri melalui desir angin sepoi dan suara gemuruh angin yang meniup dedaunan. Kita berharap dari suara alam adalah ketentraman dalam diri kita agar mampu melibas setiap beban kehidupan yang dilampirkan dalam kehidupan ini.
Kedua, pendakian adalah ajang untuk melatih sosial kita. Bagaimanapun, ruang pendakian adalah ruang sosial yang perlu juga dimaksimalkan untuk membangun hubungan sosial yang lebih luas dan harmonis. Dalam interksi sosial tersebut, kita bisa menebar nilai-nilai kebaikan termasuk nilai-nilai dakwah keagamaan.
Ketiga, pendakian adalah bentuk penguatan kita terhadap hubungan kita dengan alam. Sebagaimana dalam trilogi ahlussunah wal jamaah, hubungan manusia dalam hidup ini terpetakan dalam tiga hubungan yakni hubungan dengan Tuhan (hablul minallah), hubungan dengan manusia (hablum minannas), dan hubungan dengan alam (hablum minal alam). Nilai ketiga ini perlu diasah. Mendaki adalah salah satu cara yang tepat!Untuk memaksimalkan pengasahan tersebut, kita perlu melakukan perenungan dan pengkajian secara mendalam dan kontinyu.
Keempat, pendakian bisa juga untuk melatih disiplin terhadap ritual keagamaan seperti sholat. Banyak kita lihat para pendaki yang sangat tidak akrab dengan sholat (melalaikannya). Padahal, jika dipikir secara sederhana, para pendaki di gunung tidak memiliki kesibukan apapun. Mereka ke gunung untuk liburan, meninggalkan semua pekerjaan. Momen ini seharusnya mampu mendorong seseorang untuk lebih disiplin melakukan tugas-tugas keagamaannya seperti sholat, membaca al-Quran dan lainnya. Sayanganya, para pendaki saat ini ketika mendaki yang terlintas adalah bagaimana mengambil gambar, mengambil kesempatan dengan lawan jenis, menghabiskan minuman penghangat, memakan camilan sebanyaknya, serta berbagai ritual lain yang tidak sama sekali memiliki substansi spiritualitas. Semoga dengan membaca ayat-ayat Tuhan yang ada di dalam al-Quran, mampu mendorong kita untuk mengkaji ayat-ayat Tuhan yang terbentang di alam raya ini seperti pegunungan. Pendakian adalah momen tepat untuk selangkah lebih dekat dengan sang pencipta,yakni dengan mengkaji ayat-ayat-Nya di alam raya!
Copyright (2020) Kuras Institute